Randomness

Hukum Kekekalan Energi

Setiap orang pasti pernah merasa sedih. Atau marah. Atau kecewa. Atau stress. Atau (insert perasaan negatif di sini). Dan setiap orang pasti punya cara untuk mengalihkan perasaan itu.

Ingat kan salah satu prinsip fisika jaman sekolah? Hukum kekekalan energi kalo gak salah namanya.

Energi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan. Energi hanya dapat berubah wujud dari satu bentuk menjadi bentuk yang lain.

Well, gue gak googling lagi untuk sekadar tahu ini hukumnya siapa dan dari mana dia bisa menyatakan seperti itu. Tapi, anggap aja dia benar. Energi hanya dapat berubah wujud, tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan.

Dengan asumsi bahwa energi bisa berupa perasaan, dan perasaan merupakan bagian dari energi, maka gue dengan seenak dengkul gue menyimpulkan:
Kalau kita sedang, katakanlah tidak bahagia apapun penyebabnya, tentu kita berharap energi ini bisa diubah bentuknya menjadi bahagia.

Seperti yang gue bilang di atas, banyak cara untuk mengubah bentuk energi.
Ada yang melarutkan diri dalam kesibukan pekerjaan, ada yang berkumpul bersama teman-teman sekadar untuk melupakan kesedihan, atau ada juga merenung sendirian entah di mana sekadar untuk mendapatkan inner peace.

Kalau gue, cara gue untuk mengatasi energi negatif adalah dengan …. belanja.
*ditabok pembaca*

Satu lagi pengubah energi diri gue: makan es krim enak di mall. Pilih dua scoop rasa es krim yang gue paling suka, lalu duduk di pojok ruangan sambil merenung. Berpikir bagaimana caranya gue bisa membuat energi negatif dalam tubuh berubah bentuk menjadi positif.

Seringkali cara ini berhasil. Instantly, gue merasa bahagia walaupun lembar demi lembar rupiah tergerus atas nama pengobat energi negatif ini.

Energi kesedihan pun berubah wujud menjadi kebahagiaan.

Selesai “hura-hura” dengan diri sendiri, saatnya pulang ke kediaman. Namun, belum sempat menjejakkan kaki di pelataran kos, terlihat abang-abang penjual sepatu sandal keliling. Wajahnya nelangsa. Pendekatan jenius gue mengatakan bahwa barang dagangannya belum laku satu pun sore itu.

Si penjual yang gue perkirakan seumuran dengan gue berulang kali menawarkan sandal dan sepatu dagangannya ke orang-orang sekitar. Namun berulang kali pula ia mendapat anggukan sebagai tanda penolakan sopan.

Kasihan.

Melihat si penjual, pikiran gue langsung melayang ke berapa saldo rekening bank gue after hura-hura-pengubah-energi-sedih-menjadi-bahagia.

Begitu mendapat perkiraan saldo dan mengetahui berapa rupiah yang telah gue keluarkan demi mendapatkan energi kebahagiaan, tetiba energi tersebut berubah wujud untuk kedua kalinya.

Kali ini ia memilih untuk menjadi energi rasa bersalah.

Rasa bersalah menghinggapi hati lantaran melihat betapa kontradiktifnya kehidupan pedagang sandal dan sepatu tadi dengan gue. Betapa kecilnya “penderitaan” yang gue alami dibanding dengan si penjual.

Wajahnya terbakar matahari, badan hitam kurus kering, baju lepek karena keringat. Entah sudah makan belum dia hari ini. Sementara gue sudah makan es krim premium yang mungkin cukup untuk biaya makannya tiga hari. Dan tentengan belanjaan di tangan kanan kiri gue mungkin cukup untuk dia …

Sh*t.

Energi bahagia gue sudah benar-benar lenyap. Berganti dengan energi rasa bersalah.

Sesampainya di kos, gue meluruskan kaki sambil merenung lagi. Berpikir. Seperti biasa, berpikir. Karena Tuhan sudah begitu baik menganugerahkan otak yang sangat sayang kalau tidak digunakan untuk berpikir.

Hasil pemikiran gue mengatakan bahwa energi rasa bersalah tadi tidak seharusnya muncul. Seharusnya yang menempati ruang diri gue sekarang adalah energi syukur.

Bersyukur.

Bersyukur karena gue sebenarnya sangat beruntung. Orang tua sehat, keluarga lengkap, pekerjaan ada, penghasilan cukup, teman punya, sahabat juga punya, hobi bisa dijalankan. Dan daftarnya akan semakin panjang jika harus diketikkan.

Apa lagi yang harus dikeluhkan? Hal apa lagi yang layak membuat gue merasa sedih atau tidak bahagia?

Gak ada kan?

Gak ada.

2 thoughts on “Hukum Kekekalan Energi

Leave a comment