“Ngana jangan gila. Jangan suruh kita pikir-pikir itu persamaan yang ngana mau. Kita lagi capek sekali ini.” Kalabory merepet dengan logat Ambonnya yang kental.
“Kalau ngana kangen, ya ngana teleponlah itu si Matahari. Jangan malah suruh-suruh kita bikin itu rumus kangen.” Kalabory masih mengomel dengan kecepatan tinggi.
“Iya, Kal. Iya. Buset deh,“ kataku.
Aku lalu mengeluarkan sebatang rokok dari saku celana,“Yang bikin aku bingung, Kal. Kok bisa-bisanya rasa kangen itu muncul ya?”
Kalabory berdecak malas, “Ngana jangan macam anak SD. Itu artinya ngana sayang sama dia. Ibarat kata, sayang itu bahan bakar. Disulut dikit dengan jarak, jadilah itu kangen.“
“Oh, gitu,” aku menghembuskan asap rokok, “ jadi persamaannya gimana, Kal?”