Terluka (Literally)

Sesuatu itu baru terasa berharga ketika kita telah kehilangan.

Sudah sering dengar kalimat ini kan?

Namun ternyata ada satu hal lagi yang baru saya sadari.

Sesuatu itu baru terasa sangat berharga ketika ia berada dalam kondisi terluka.

Hmmm. Bingung?

Ini saya sedang membicarakan jari tengah saya. Yap. Jari terpanjang di tangan kanan saya tengah terluka. Saya bahkan tidak ingat kenapa ia bisa tergores dalam. Tampaknya dikarenakan tergesek gantungan baju yang saya ambil terburu-buru di salah satu tenantsebuah mall Jakarta Barat.

Awalnya tidak terasa. Tapi lama-kelamaan, perih melanda. Saya coba obati dengan selembar plester antiseptik. Lumayan. Lukanya jadi tidak membuka dan melebar sana sini.

Oh iya. Letak lukanya benar-benar di ujung jari. Sekitar empat milimeter jauhnya dari ujung kuku. Jadi plesternya pun ditempelkan dengan cara yang ganjil. Bagian kassa berantiseptik ditempelkan di luka, sedangkan plester sisanya dililitkan menutupi kuku dan bagian depan jari secara tak sempurna.

Nah. Apakah permasalahan terpecahkan dengan plester?

Hmmm. Tidak juga. Permasalahan baru justru muncul.

Ketika hendak makan di restoran Sunda, saya terpaksa membuka plester di jari tengah tersebut. Ganggu. Setelah selesai makan dan mencuci tangan, saya pasang lagi sebuah plester yang baru.

Sampai akhirnya saya kehabisan plester antiseptik. (Ya karena memang cuma punya dua buah sih di dompet.)

Hidup ternyata lebih sulit tanpa kehadiran plester. Sangat perih ketika lukanya membuka lagi saat saya mencuci muka. Apalagi pada saat keramas. Saya terpaksa menggunakan kesembilan jari lainnya untuk menggosok kulit kepala.

Dipakaikan plester, aneh. Plester dilepaskan, perih.

Ah sudahlah. Saya memutuskan untuk membuka laptop saja.

Dan ternyata ada satu lagi hal yang baru saya sadari. Saya selalu menggeser trackpad laptop dengan jari tengah saya!

Well. Selamat bekerja keras hari ini, jari manis.

:)