Sharing is Caring

International Women’s Day

Dua hari lalu, gue terlibat meeting dengan Pak Boss, membahas review laporan keuangan yang membosankan. Di tengah-tengah pembahasan, Pak Boss yang Insya Allah lelaki tulen itu entah kenapa ter-distract dan memulai sedikit percakapan mengenai Hari Wanita Sedunia yang jatuh setiap 8 Maret.

Pak Boss: “Kemarin itu Hari Wanita Sedunia ya?”

Gue: “Ho oh.”

Pak Boss: “Aku heran, mereka itu selalu menuntut persamaan dengan laki-laki.”

Gue yang belum ngeh arah pembicaraan ini, bahkan gak tau siapa ‘mereka’ yang dimaksud beliau, hanya bisa ber-hmmm ria.

Pak Boss: “Menurut kamu Lap, cewek sama cowok itu sama nggak?”

Gue: “Nggak.”

Pak Boss: “Terus, cewek harus menuntut jadi sama nggak?”

Gue: “Ya enggaklah.”

Pak Boss: “Weis, pinter kamu.”

Gue sebenernya pingin menjawab “pinter mah udah dari lahir, Pak”. Namun, gue gak bisa membuktikan bahwa gue dari lahir udah pinter. Jadinya gue cuma diam dan melempar sedikit cengiran ke arah Pak Boss.

Berhubung kami kembali membahas review laporan keuangan yang sangat menyenangkan, pembicaraan singkat mengenai Hari Wanita Sedunia pun terlupakan begitu saja.

Obrolan pendek itu pun akhirnya menjadi ide untuk tulisan kali ini. Bagaimana gue melihat kedudukan laki-laki dan perempuan.

Gue berpendapat bahwa pada dasarnya, laki-laki diciptakan dengan fisik dan mental yang lebih kuat.

Karena apa?

Karena nature laki-laki adalah untuk melindungi perempuan. Perempuan memang terlahir untuk berada di bawah payung perlindungan laki-laki.

Sadly but true, emansipasi wanita selalu tentang menuntut persamaan hak, bukan persamaan kewajiban. Itupun menjadi bias karena gue melihat hak perempuan malah relatif lebih banyak dari laki-laki.

Misalnya:

Ada gerbong khusus wanita kan kalau di kereta? Tapi pernah lihat gerbong kereta khusus laki-laki nggak?

Sering lihat ladies parking di parkiran mall kan? Tapi pernah lihat nggak ada gentlemen parking? Gue sih nggak pernah.

Kalau mau menuntut persamaan hak, harusnya laki-laki lho yang demo. Menuntut biar ada gerbong kereta khusus laki-laki dan gentlemen parking di mall. Kan katanya mau sama.

Selain itu, UU RI no 13 tentang Ketenagakerjaan membolehkan perempuan untuk cuti haid sampai dengan 2 hari dalam sebulan. Dan perempuan juga diberikan cuti melahirkan selama 3 bulan. Itu tentunya sesuai dengan nature perempuan yang memang mengalami haid dan hamil serta melahirkan.

Nah. Harusnya laki-laki dong yang menuntut persamaan hak. Seharusnya mereka bisa menuntut untuk diberi cuti hingga dua hari dalam sebulan, sebagai kompensasi atas cuti haid untuk perempuan. Kan katanya mau sama haknya?

Laki-laki juga seharusnya diberi cuti selama tiga bulan sebagai kompensasi atas cuti melahirkan untuk perempuan. Katakanlah laki-laki diberi kompensasi cuti melahirkan sebanyak 3 kali selama masa kerjanya, sebanyak jumlah anak yang biasanya ditanggung perusahaan.

Lumayan tuh cutinya bisa buat backpacking keliling Eropa. Secara bunting nggak, cuti panjang iya. Asik banget kan. Hahaha.

Atau, perempuan yang menuntut persamaan hak dan kewajiban dengan laki-laki itu seharusnya benar-benar menuntut persamaan. Mereka seharusnya menuntut hak-hak khusus untuk perempuan dihapuskan, biar semuanya sama persis dengan hak dan kewajiban laki-laki. Biar nggak bias.

Well, gue nggak bilang kalau laki-laki itu harkat, martabat, dan kedudukannya lebih tinggi dari perempuan. Kesannya kok perempuan statusnya rendahan. Ya nggak gitu lah. Perempuan dan laki-laki itu derajatnya sama tinggi. Martabat dan kedudukannya juga sejajar. Namun, nature-nya berbeda. Hak dan kewajiban seharusnya disesuaikan dengan nature masing-masing. Nggak perlu disamakan. 

Perempuan memang lebih lemah, namun bukan berarti lemah.

Perempuan itu istimewa. Dan memang layak diistimewakan.

Jadi kalau ada yang nanya lagi, “mau nggak disamakan hak dan kewajibannya dengan cowok?”

Gue sih akan menjawab nggak.

Karena jujur, gue menikmati semua perlakuan istimewa buat cewek. Gue suka banget diperlakukan sesuai kecewekan gue. Ladies first-lah istilahnya.

Aha!

Istilah ladies first juga biasanya mengacu untuk konteks yang enak-enak. Coba kalau mau ada peperangan. Masak iya istilah ladies first dipake? Ya enggaklah. Enak aja. Cowok dulu lah kalo konteksnya yang nggak enak gitu. Masak iya kita-kita yang perempuan ini disuruh maju duluan ke medan perang?

Kalau hak dan kewajiban perempuan dan laki-laki mau disamakan, berarti seharusnya perempuan harus bisa megang senjata dong? Harus siap maju barengan ke medan perang sama para lelaki dong?

Dih, ogah banget gue sih. Biarin aja itu jadi kewajibannya laki-laki. Ngapain mau nyamain laki-laki dalam konteks nggak asik kayak gitu?

Hahaha.

Perempuan-perempuan yang menuntut persamaan hak dan kewajiban dengan laki-laki itu siap maju perang nggak? Atau, nggak usah perang deh. Yang gampang-gampang aja dulu. Siap benerin genteng nggak? Siap ganti ban mobil sendiri nggak?

Apa?

Mau nyuruh orang aja buat ngerjainnya?

Intinya sih, jangan dobel standar. Kalau mau menuntut persamaan hak, udah siap belum dengan konsekuensi persamaan kewajiban? Jangan setengah-setengah.

Terus, untungnya, gue nggak ada ambisi untuk mencalonkan diri jadi anggota legislatif.

Lah?

Kenapa jadi ngelantur ke anggota legislatif?

Karena gue seringnya melihat bahwa persamaan hak dan kewajiban yang dielu-elukan oleh perempuan biasanya berhubungan dengan politik. Antara mengeluh kursi di DPR / DPRD buat perempuan lebih sedikit, atau menuntut untuk menaikkan jumlah perempuan di dalam kabinet. Intinya ada perempuan yang pingin dapet jabatan, entah di legislatif atau eksekutif.

Nah, mungkin karena mereka perempuan, mereka merasa peluang untuk menang jadi lebih kecil. Atau mungkin juga mereka memang dianggap remeh oleh para laki-laki saingannya. Makanya para perempuan ini jadi sering teriak-teriak tentang persamaan kedudukan dengan laki-laki.

Itu teori gue. Ada yang mau kerajinan bantuin survei biar tahu teori ini sahih atau nggak?

Hahaha.

Untuk masalah posisi atau jabatan gitu sih mungkin akan lebih relevan kalau para perempuan itu ‘menuntut agar diberikan kesempatan untuk ikut duduk menjabat’, bukan ‘menuntut persamaan hak dan kewajiban dengan laki-laki’.

Karena untuk apa juga menyamakan hak dan kewajiban perempuan dan laki-laki? Wong nature-nya beda kok mau dipaksakan sama.

Ya mana bisa?

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s