Fiction and Imagination

[Cerpen]: Sisi Temaram Kota Tua

“HEH! MAU KE MANA LO?! JANGAN LARI!”

Suara pemuda berusia belasan menggelegar di belakang Sani dan Febri. Celurit di tangan kanannya berkilauan tertimpa sinar matahari.

Kedua bocah lelaki yang duduk di kelas lima SD jika masih bersekolah ini pun lari tunggang langgang. Sekuat tenaga mereka berusaha menghindar dari kejaran sang pemuda tanggung. Dengan napas memburu dan keringat meleleh di dahi, mereka berbelok ke sebuah gedung tua sebagai tempat persembunyian sementara.

Daerah ini disebut Kota Tua tentulah ada alasannya. Tak lain adalah keberadaan gedung-gedung yang memang berdiri sejak zaman penjajahan Belanda. Demikian pula dengan bangunan yang dimasuki oleh Sani dan Febri. Bercat putih kusam dan berbau apak dengan lumut yang menghijau di beberapa sisi, seolah belum pernah mengenal kata renovasi.

Mereka berdua menunggu dalam diam. Tak ada yang terdengar kecuali deru napas dan detak jantung masing-masing.

“Si Codet sudah pergi belum?” Sani bertanya lirih.

Febri memanjangkan leher, berusaha mencari tanda-tanda. Tak ada pertanda bahwa ada pemuda bertubuh tegap, kulit hitam, dengan bekas luka dua belas jahitan di pipi kiri, datang mendekat.

“Sudah. Sudah pergi,” jawab Febri mantap.

Sani menarik napas lega. Tubuh gempalnya merosot di tembok tempatnya bersandar. Sekadar ingin meluruskan kaki yang pegal karena baru saja berlari dengan sangat kencang.

Sementara Febri tidak langsung beristirahat. Ia mengamati keadaan ruangan seluas lapangan futsal tempat mereka bersembunyi. Keadaannya temaram, bahkan di saat matahari tengah pongah menunjukkan keperkasaan. Mungkin karena pencahayaan utama berasal dari pintu masuk yang sudah ia tutup rapat. Jendelanya pun ditutupi dengan kardus-kardus mie instan. Pencahayaan sekunder hanya berasal dari lubang udara di atas jendela.

Di dalam ruangan ini ada puing reruntuhan langit-langit yang sudah rusak. Ada juga tumpukan kayu yang entah darimana datangnya. Berserakan di balik salah satu pilar penyangga di tengah ruangan. Di sisi yang berseberangan dengan pintu masuk, ada semacam rolling door yang terbuka vertikal selebar kurang lebih satu meter. Febri melangkah melewati benda itu sambil berkomat-kamit mengucap doa.

Ada sebuah ruangan yang lebih kecil yang menyempit di kedua ujungnya. Mirip trapesium. Ruangan ini memiliki penerangan lampu minyak menempel di dinding. Sambil bergumam mereka hidup di zaman kapan lantaran keberadaan lampu minyak, Febri terus merangsek masuk. Di pojok ruangan, sebuah tangga melingkar terbuat dari besi menyambutnya. Tangga tersebut tidak menghubungkan ruangan dengan lantai di atasnya, melainkan dengan sebuah ruang bawah tanah.

Bocah berpostur tinggi kurus ini pun berjingkat mendekati anak tangga. Kemudian ia mengintip ke lantai bawah, berusaha mencari sesuatu yang mengusik rasa ingin tahunya.

“Feb! Ngapain lo?” Sani berseru tertahan. Ia masih berdiri di belakang rolling door. Belum berani menjejakkan kaki ke dalam ruangan tempat Febri berada.

“Sssst. Lihat sini cepet!”

“Nggak mau ah.” Sani melengos.

“Udah, sini!” Febri melambaikan tangan berulang-ulang. Memaksa sang sahabat untuk melihat apa yang tengah ia saksikan.

***

“Kampret! Ke mana dua bocah itu,” Dayat mengelap keringat yang bergulir di pelipis, “cepet banget ngilangnya mereka. Kalo ketemu, gue babat habis tuh anak dua.”

Pemuda bercelurit ini berpapasan dengan seorang lelaki yang wajahnya cukup familiar. Mungkin ia bekerja di sekitar sini, atau mungkin juga ia sering berkunjung ke Kota Tua. Sekadar foto-foto atau minta diramal oleh peramal berbaju gipsi.

“Mas, liat dua anak kecil gak lewat sini? Yang satu pendek gemuk, yang lainnya kurus tinggi.” Dayat berusaha menjelaskan dua bocah yang tengah diburunya.

Lelaki tersebut memandang wajah Dayat yang memiliki bekas luka jahitan yang lebar. Lalu ia melirik sesaat ke arah celurit yang dipegang oleh Dayat.
“Hmm. Enggak, Mas. Gak liat,” jawabnya setengah terbata.

Dayat bersumpah serapah di tengah teriknya matahari Kota Tua.

Ia kesal lantaran dompet miliknya lenyap. Diambil oleh dua anak kecil bernyali besar. Rasa kesalnya menjadi berlipat ganda lantaran ia gagal mengejar dua anak ingusan itu.

Setelah menyusuri jalanan Kota Tua dan tetap tak menemukan kedua anak yang dikejarnya, Dayat memutuskan untuk memutar kembali langkah. Kembali ke pangkalan sepeda tempat ia mencari nafkah sebagai pencopet.

***

Seorang lelaki botak kekar dan bertato penuh di kedua lengannya melangkah mondar-mandir. Kegelisahan tergambar nyata di air mukanya.

“Jadi ditaruh di mana barangnya?! Di mana?!”

Teriakan lelaki itu bergema di seluruh penjuru ruangan bawah tanah. Membuat bulu kuduk Febri merinding karenanya.

Seorang ibu berusia lima puluhan yang berdandan ala gipsi terhenyak kaget. Mulutnya bergetar, tak bisa menjawab pertanyaan si kepala plontos. Tangan dan kakinya terikat erat di kursi yang diduduki. Membuatnya tak kuasa meloloskan diri dari cengkraman si lelaki.

“Jawab!”

BRAKKK!

Sebuah kursi di sebelah perempuan tua melayang menghempas dinding yang tak berdaya menahan luapan kemarahan. Lampu minyak yang tergantung di dekatnya bergetar. Si Botak menendang kursi sekuat tenaga, mencerminkan kekesalan yang memuncak.

“Feb, itu kan ibu-ibu peramal yang suka mangkal di belakang Museum Fatahilah?” Sani berbisik dengan hati-hati.

“Iya, bener. Itu si ibu peramal gipsi,” Febri mengerutkan kening, “kenapa dia bisa ditawan sama Si Botak ya?”

“Lo nanya gue, terus gue nanya siapa? Nanya Si Botak?” Jawab Sani.

“Nanya tembok aja,” sungut Febri.

“Hahahaha.” Sani tertawa melihat wajah sahabatnya yang tertekuk menahan kesal.

“….”

“HEH! SIAPA DI ATAS SANA?!”

Sani spontan terdiam dari tawa karena Febri telah membekap mulutnya sekuat tenaga.

“Sssst. Diem! Si Botak kayaknya tahu kita di sini. Ayo kabur!” Bisik Febri sambil menarik lengan Sani.

Sani dan Febri terburu-buru menyusuri ruang trapesium dan melewati rolling door. Mereka terus berlari lurus saja menuju pintu keluar. Menggenapkan kejadian hari ini yang penuh dengan lari dan lari.

Febri sudah membuka sepertiga pintu keluar ketika ia melihat orang yang tak diinginkan di luar sana.

“Kenapa ditutup lagi Feb pintunya? Buruan kabur! Nanti Si Botak nangkep kita!” Seru Sani cemas.

“Di luar ada Si Codet,” jawab Febri datar.

“Hah? Terus nasib kita gimana dong?” Panik Sani “Itu Si Botak udah gedabrukan nginjek tangga naik. Sebentar lagi dia pasti muncul.”

“Kita sembunyi di balik pilar!” Febri menarik kerah kaos Sani, ”tapi pintunya kita buka lebar aja. Biar Si Botak ngira kita lari keluar.”

Dua detik setelah mereka bersembunyi di balik pilar, Si Botak muncul dari ruang bawah tanah. Ia terus berlari lurus saja ke luar gedung. Menoleh ke kanan kiri jalan demi menangkap penyusup yang memasuki kerajaannya.

Matanya tertumbuk kepada pemuda berbekas luka dua belas jahitan yang melintas. Pemuda itu tengah menggenggam sebilah celurit.

“Dayat!”

Yang dipanggilpun menoleh, “Ya, Bang? Kenapa?”

“Lo barusan liat ada orang yang keluar dari tempat gue?”

“Heh? Enggak tuh Bang.”

“Yang bener?!”  Si Botak mencubit-cubit dagunya.

“Oh. Atau lo ya yang barusan ngintipin gue?! Ngaku lo!” Ancamnya sambil mencengkram kerah kaos Dayat.

“Eh? Enggak, Bang. Enggak. Beneran, Bang.”

“Gak usah bohong lo sama gue!”

“Enggak, Bang. Sumpah deh!” Dayat membentuk huruf V dengan jari telunjuk dan tengahnya.

“Gue barusan nguber dua anak ingusan yang nyolong dompet gue. Tapi gak dapet, Bang. Mereka larinya cepet banget!”

“Siapa yang berani-beraninya nyolong dompet lo? Copet kok dicopet. Bego lo.”

“Dua bocah anak kampung sebelah, Bang. Gue juga gak tau siapa namanya.”

“Mereka lari ke arah mana emang?”

***

“Duh, kalian berdua berani sekali,” Seru peramal gipsi sembari merapikan rambut yang menjuntai sampai ke pinggang.

“Ayo, Bu. Kita harus buru-buru pergi sebelum Si Botak muncul!” Seru Febri.

Febri segera bergegas menaiki tangga melingkar.  Tangga yang menghubungkan ruang bawah tanah ke ruang trapesium. Mereka melangkah dalam diam. Dan terus berlari menuju ruangan berukuran lapangan futsal.

“Sembunyi di balik pilar!” Perintah Febri.

Sani dan Peramal Gipsi segera mengamankan diri di balik tiang bulat berdiameter kurang lebih satu meter. Sementara Febri mengambil salah satu kayu di lantai lalu kembali ke ruang bawah tanah. Memecahkan lampu minyak yang tergantung di salah satu dindingnya.

“Nah, gue bikin gelap deh ruangan lo.” Febri mengangguk puas.

Setelah itu ia kembali bergegas menaiki tangga besi melingkar. Karena gelap dan terburu-buru, kayu yang dibawanya terlepas dari tangan ketika ia mencapai pertengahan tangga. Jatuh menimpa tangga besi dan meluncur turun dengan bunyi yang sangat ramai.

“Kampret!” Gerutu Febri.

***

“Suara apa itu?” Telinga Si Botak langsung berada dalam keadaan waspada.

“Bangsat! Penyusup itu pasti masih di dalam! Ayo kita lihat!”

***

Terburu-buru Febri bersembunyi di balik pilar yang berseberangan dengan Sani dan Peramal Gipsi. Napas yang memburu ditahannya sekuat tenaga ketika Si Botak dan Dayat berlari melintasi mereka. Kedua preman Kota Tua itu berlarian melewati rolling door dan menuju ruang bawah tanah.

Kemudian terdengar suara Si Botak berteriak, “Sialan! Kenapa lampunya mati begini? Korek mana korek?!”

Dayat segera menyalakan lighter yang ia ambil dari saku celana pendek. Seketika retina dapat menangkap kembali bayangan benda yang berada di depan mata.

“BANGSAT! TAWANAN GUE KABUR!”

BRAKKKK.

Kursi kosong kembali menjadi sasaran kemarahan Si Botak. “Cepat kejar mereka! Cepat!“

“Ayo Bu kita kabur!” Seru Febri kepada Peramal Gipsi.

Sang wanita separuh baya itu menganggukkan kepala. Mereka berdua segera berlari menuju pintu keluar. Semua terasa baik-baik saja hingga akhirnya Febri menyadari satu hal.

“Sani! Ayo cepat!”

Sani pun tersadar dari lamunannya. Ternyata dari tadi Sani tidak mengikuti langkah Febri dan Peramal Gipsi. Bocah gempal ini pun segera berlari menyusul ke arah sahabatnya berada.

Sani belum mencapai setengah garis finish ketika akhirnya Si Botak dan Dayat muncul dari lantai bawah tanah.

“HEH! MAU KE MANA LO?! DASAR TUYUL!”

Tangan Si Botak melingkari leher Sani. Membuat bocah tersebut tak berdaya dalam gelutan tubuh raksasa itu.

“LO TIKUS JANGAN LARI. KALO ENGGAK, GUE HABISIN TEMEN LO INI!”

Si Botak merebut celurit dari tangan Dayat dan mengalungkannya di leher Sani. Febri dan Peramal Gipsi hanya bisa terpaku melihat peristiwa di depan mereka. Sementara Dayat hanya bisa ternganga seraya berkata “Sebentar, sebentar. Abang nawan Bunda? Kenapa, Bang?”

Keadaan langsung hening seketika. Febri menatap Peramal Gipsi dengan wajah penuh tanda tanya. “Bunda? Maksudnya gimana ini?”

Melihat kebingungan Febri, Peramal Gipsi menghela napas panjang, “Si Botak ini anak Ibu, Nak. Dayat juga anak ibu dari suami yang lain. Mereka berdua anak kandung Ibu.”

Suasana semakin hening.

“Ada satu orang menawan ibunya sendiri. Sementara orang satu lagi ternyata adalah saudaranya sendiri. Ini lagi syuting reality show atau apa sih?” Cetus Sani memecah keheningan.

“HUS! DIEM LO KACRUT!”

Teriakan Si Botak yang tepat di telinga Sani membuat bocah ini terdiam.  Bukan hanya karena suaranya yang mengagetkan, tapi juga disebabkan bau  tak sedap dari mulut Si Botak.

“Mana Bu barangnya?! Mana?!” Paksa Si Botak.

“Barang apa sih, Bang?” Tanya Dayat.

“Udah. Lo gak perlu tahu,” sembur Si Botak, “yang penting gue dapet barang gue sekarang, “

“Baiklah,” kata Peramal Gipsi, “kita luruskan saja semua ini. Biar jangan ada yang terluka.”

Ia lalu melanjutkan, “Barangnya ada di lemari tua yang tak terpakai di belakang gedung Museum Fatahilah. Kunci lemarinya ada di dompet adikmu, Dayat. Ibu yang taro di sana.”

“Oh, kunci itu ternyata kuncinya Abang?” kata Dayat, “pantes aku bingung. Kenapa tiba-tiba di dompet aku ada kunci.”

“Iya. Itu milik Abangmu,” kata si Peramal Gipsi.

“Ya udah. Sekarang mana kuncinya? Gue mau ambil sekarang barangnya!” seru Si Botak.

“Kunci gue ada di dompet. Dompet gue kan diambil sama mereka berdua Bang,” jawab Dayat.

Si Botak mengalihkan pandangan bergantian kepada Febri dan Sani.

“MANA DOMPET DAYAT?!” Teriaknya penuh ancaman.

Febri dan Sani berpandang-pandangan. Mereka bingung harus menjawab apa. Hingga akhirnya Febri yang angkat suara.

“Lepasin dulu temen gue, Bang. Baru gue kasih dompetnya.”

“Ya kagak gitu caranya. Lo kasih dulu dompetnya, baru gue kasih temen lo,” jawab Si Botak.

“Ya kalo gitu, dompetnya gak akan gue kasih.” Febri merespon santai.

“Lo mau temen lo mati? Hah?!” Gertak Si Botak.

“Abang mau kuncinya gue buang ke kali depan? Airnya lagi ngalir deras tuh. Lagi musim hujan,” jawab Febri lagi.

“KURANG AJAR LO YA EMANG!”

Si Botak naik pitam. Ia segera menuju Febri dan membacok kepala bocah kurus tersebut. Meleset. Febri berkelit secepat belut, menyebabkan Si Botak makin darah tinggi. Ia berlari dan kemudian menimpa bocah kurus itu dengan badannya yang berukuran satu setengah kali orang dewasa normal.

“Kampret lo ya!”

BUKKK.

Sebuah bogem mentah melayang ke dagu Febri. Membuat darah segar mengucur dari salah satu sudut bibirnya.

“Eh. Sudah sudah sudah.” Peramal Gipsi menghalau mereka berdua.

”Sudah, jangan berkelahi. Mending kita ambil saja barang yang kau maui itu. Lalu pergilah seperti biasa. Bergabung kembali dengan komplotan pengedar narkobamu itu.”

“Ya udah begitu aja,“ kata Si Botak.

”Mana dompetnya sini ?!” Teriaknya kepada Febri.

Febri menyodorkan sebuah dompet cokelat kulit mahal. Dompet salah satu korban pencopetan Dayat yang sekarang ia gunakan.

Si Botak hendak merampas dompet tersebut, tapi tangan Febri bergerak lebih cepat.

“Eits. Gak segampang itu Bang,” kata Febri, “nanti aja gue kasih kuncinya ke Abang. Tapi gak sama dompet-dompetnya juga sih. Dompet ini sekarang punya gue, Bang.”

Si Botak mengambil posisi hendak menyerang Febri, tapi gerakannya dihentikan oleh sang bunda.

“Udah, udah. Hayuk jalan semuanya,” kata Peramal Gipsi.

Rombongan ini pun berjalan beriringan. Satu bocah gempal, satu anak kurus tinggi, satu preman berkepala licin yang memegang celurit, satu remaja bercodet, dan satu wanita berbaju gipsi. Mereka berjalan dengan tak memedulikan keadaan sekitar yang memperhatikan mereka dengan heran.

Tibalah mereka di belakang gedung Museum Fatahilah tempat Peramal Gipsi beroperasi setiap hari. Ada sebuah lemari kecil yang tak terpakai namun masih cukup baik keadaannya. Mungkin karena ia terbuat dari kayu jati sehingga akan awet seumur hidup.

“Mana kuncinya?!” Gertak Si Botak.

Febri membuka dompet Dayat. Ia memeriksa kantong demi kantong dompet tersebut. Dan akhirnya ditemukanlah sebuah kunci di dalam kantong beritsleting.

“Nih, Bang,” kata Febri,” udah ya gue pergi. Kuncinya kan udah gue kasih.”

“Sebentar. Jangan kabur dulu lo,” gerutu Si Botak.

Anak kunci ia masukkan ke dalam lubang lalu diputarnya ke kanan. Terdengar bunyi ‘ctak’ pertanda pintu lemari dapat dibuka.

Si Botak membuang celurit yang ia pegang lalu merentangkan kedua tangan lebar-lebar. Ia meraih sebuah boneka beruang madu pink dengan penuh sayang  dari dalam lemari. Ia pun mendekap boneka berukuran balita dua tahun itu dengan mata berbinar penuh kasih.

“Duh, Minyo-minyo. Kangen deh sama kamu. Kamu gak apa-apa kan?” kata Si Botak sambil mengelus-elus kepala boneka beruang madu pink. Mulutnya pun dimonyong-monyongkan demi membuat kesan imut.

Febri dan Sani hanya bisa terpekur. Antara mau tertawa tapi tak bisa.

“Ibu sudah lama ingin memisahkan dia dari boneka pink itu. Segala cara sudah dilakukan. Tapi tetap tak berhasil,” jelas si Peramal Gipsi.

“Ya sudahlah ya. Mungkin memang ada hal-hal yang tak bisa dipisahkan dari seseorang, seberapa kuatpun kita berusaha untuk melepaskannya,” lanjut sang Peramal Gipsi lagi.

“Mungkin, Bu. Mungkin,” respon Sani sambil sekuat tenaga menahan tawa.

Ya mending menahan tawa daripada mati dibacok gara-gara ketahuan menertawakan si Botak, kan?

-THE END-

2 thoughts on “[Cerpen]: Sisi Temaram Kota Tua

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s